Kartini dan Perjuangan Perempuan yang Terus Berlanjut
21 April 2025
Melihat kembali selama kurang lebih sebulan ke belakang, ada beberapa hari yang kita rayakan yang sesungguhnya memiliki keterkaitan dengan satu sama lain. Pada hari ini, kita merayakan emansipasi perempuan dalam Hari Kartini. Ditetapkan mulai tahun 1964 oleh Sukarno, tanggal lahir dari R.A. Kartini ini dicanangkan sebagai pengingat bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam “wacana negara hegemonik pembangunan”.
Walau pada masa Orde Baru perayaan ini direduksi menjadi hari di mana anak-anak pergi ke sekolah dengan mengenakan baju daerah, sesungguhnya ada hal lebih mendalam yang dirayakan pada peringatan ini. Pada masanya, Kartini merupakan seorang pemikir yang kritis. Alih-alih menerima tradisi yang patriarkis mentah-mentah—seperti “pingitan” yang dijalaninya dari usia 12 hingga 16 tahun—ia justru mempertanyakan kenapa perempuan harus mengalami isolasi dari dunia luar. Begitu pun halnya dengan akses pendidikan, institusi perkawinan, hingga agama, seluruhnya tidak luput dari pertanyaan Kartini. Berangkat dari yang personal, apa yang dipertanyakan oleh Kartini juga berlaku bagi perempuan secara luas. Perjuangan Kartini adalah perjuangan perempuan, dan perjuangan perempuan mencakup perempuan di mana pun.
Hari Perempuan Internasional yang dirayakan pada tanggal 8 Maret setiap tahunnya memberikan kita kesempatan untuk merefleksikan peran perempuan dalam masyarakat. Pada tahun ini, tema kampanye yang diangkat adalah “Accelerate Action”. Tema ini membawa semangat aksi kolektif guna menjunjung hak perempuan, yang sayangnya sampai hari ini masih terpentok dengan berbagai keadaan di masyarakat. Selain R.A. Kartini yang perjuangannya kita rayakan di hari ini, Indonesia juga memiliki sosok-sosok seperti Cut Nyak Dien dan Martha Tiahahu yang berjuang di jalannya masing-masing. Mereka adalah perjuangan itu sendiri, sekaligus segelintir dari banyaknya perempuan yang perlu kita rayakan perjuangannya.
Perjuangan perempuan untuk dipenuhi hak-haknya hadir dalam berbagai sektor. Dalam sektor buruh, sekalipun memegang jabatan atau tugas pokok yang sama, perempuan kerap kali menerima upah yang tidak proporsional. Lain soal dalam ranah domestik, menjadi ibu rumah tangga (IRT) kerap disepelekan dengan sebutan pengangguran atau tidak memiliki pekerjaan, padahal untuk dapat mengatur keuangan rumah tangga dan merawat seorang anak butuh keterampilan, keahlian teknis, dedikasi, serta kasih sayang. Dalam politik, sayangnya, kekuasaan atau jabatan tertinggi masih didominasi oleh laki-laki. Peran perempuan dalam ranah ini terkadang hadir hanya sebagai pelengkap untuk mengisi kekosongan atau suatu representasi belaka. Semangat pemberdayaan kolektif guna memperjuangkan hak-hak perempuan perlu hadir untuk melindungi mereka.
Perempuan dan Pelestarian Budaya
Contoh lainnya yang tak luput dari kehidupan bermasyarakat dan berbudaya yang patut untuk dirayakan adalah perempuan dalam masyarakat adat. Jika kita berkunjung ke Indonesia Timur, mama-mama yang ada di sana kerap bisa ditemui sedang duduk di pekarangan rumah, berfokus pada seikat benang berwarna dan alat menenun di pangkuannya. Ini merupakan proses pembuatan sarung yang biasanya digunakan dalam upacara adat, pernikahan, kematian, hingga kegiatan sehari-hari. Dalam menenun, terdapat proses yang memerlukan kesabaran, kelihaian, dan budaya yang berpadu dalam suatu rutinitas. Perempuan dalam masyarakat adat menghidupi tradisi dan budaya yang praktiknya kemudian menjadi lestari. Dengan kata lain, keberadaan perempuan di dalam masyarakat adat berperan besar dalam menjaga budaya masing-masing daerah.
Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu provinsi yang dikenal akan kain tenun. Bahkan, jika membicarakan rutinitas masyarakat setempat, menenun sudah tidak bisa dipisahkan darinya. Kain tenun dari Nusa Tenggara Timur mengandung warna-warna yang bisa ditemukan dari alamnya hingga narasi-narasi dari cerita yang berkembang di masyarakatnya. Di Flores Timur ada tradisi “belis” atau mahar dalam perkawinan—di mana kain tenun merupakan salah satu hal yang harus diberikan oleh pihak laki-laki kepada perempuan dalam proses meminang. Begitu pula dalam pemakaman, ketika salah satu anggota keluarga meninggal, terdapat beberapa orang dalam garis keturunan tertentu yang wajib melakukan proses membalut kaki atau tubuh mayat dalam peti dengan kain tenun. Dalam keseharian masyarakatnya, ada sejumlah momen di mana kain tenun diberikan untuk membalas budi seseorang.
Di tengah akselerasi modernitas yang kian pesat, mama-mama yang menenun kain di NTT memainkan peran penting untuk melestarikan rutinitas dan nilai turun temurun melalui tenun. Mama-mama adalah seniman yang menuangkan hati dan tenaga mereka dalam menenun. Bukan sebatas warisan, proses tenun juga membutuhkan kelihaian tangan, ketelitian mata, dan kesabaran yang membuat kain hasilnya sangat berharga. Sayangnya, perjuangan untuk melestarikan hal tersebut masih terhambat karena untuk menjalankan keseharian saja, masyarakat adat khususnya perempuan belum mendapatkan perlindungan dan pemberdayaan dari ancaman yang ada. Perempuan, sayangnya lebih sering menerima kerugian dari sistem yang ada dalam masyarakat. Keuntungan secara material hingga anggapan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan skilled labor masih sulit untuk didapatkan oleh perempuan.
Di antara Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret dan Hari Kartini pada 21 April, kita juga memperingati Hari Masyarakat Adat Nasional pada tanggal 13 Maret. Tentu, perjuangan perempuan dalam masyarakat adat tidak bisa dipisahkan dengan perjuangan perempuan secara umum. Bisa dibilang, ekstensi dari perjuangan Kartini dan berbagai tokoh perempuan lain sepanjang sejarah Indonesia terhubung langsung dengan apa yang bisa kita lakukan sekarang bagi perempuan di mana pun. Masyarakat adat adalah pelaku budaya yang paling dekat dengan budaya yang dilestarikan itu sendiri, karena mereka hidup dan tumbuh di dalamnya. Peran perempuan dalam masyarakat adat perlu kita rayakan dengan percepatan aksi akan hak-hak mereka yang belum terpenuhi. Kehadiran mereka menjadi bukti kreasi yang dipelihara dan budaya yang dilestarikan, maka pengakuan serta perlindungan terhadap masyarakat adat terkhusus perempuan merupakan bentuk perjuangan keadilan—manifestasi nyata sila kelima Pancasila. (MT/AM)