Perjuangan Panjang Melawan Kolonialisme: 70 Tahun Konferensi Asia–Afrika
24 April 2025
70 tahun silam, pemimpin bagi lebih dari separuh manusia di dunia berkumpul di Kota Bandung, dipersatukan oleh penderitaan dan sejarah kolektif atas praktik kolonialisme, imperialisme, dan segala penindasan yang dilakukan oleh negara-negara hegemon dunia, atau negara dunia pertama. Momentum akbar ini dikenal masyarakat Indonesia sebagai Konferensi Asia–Afrika (KAA)—atau yang diketahui oleh dunia internasional dengan nama Bandung Conference—diselenggarakan pada 18–24 April 1955.
Diprakarsai oleh beberapa figur pemimpin negara-negara berdaulat yang telah atau baru merdeka dari penjajahan, di antaranya bapak pendiri bangsa Indonesia, Sukarno, bersama dengan Jawaharlal Nehru, perdana menteri India, dan Mao Zedong bersama Zhou Enlai dari Republik Rakyat Tiongkok, konferensi ini merupakan kali pertamanya bangsa-bangsa non-kulit putih dari Global South menyelenggarakan konferensi tingkat tinggi setelah selama berabad-abad didera eksploitasi para kolonial yang merenggut sumber daya alam, kebebasan, juga harkat dan martabat bangsa-bangsa dan segenap masyarakatnya.
KAA, yang dihadiri oleh pemimpin dari 21 negara yang pada saat itu mewakili 1,5 milyar manusia (54% populasi dunia), bertujuan untuk mempererat kerjasama ekonomi dan kebudayaan dari negara-negara di Asia dan Afrika serta upaya menentang kolonialisme dan neokolonialisme, namun di luar itu, KAA juga menorehkan sejarah mendalam yang memengaruhi dinamika geopolitik dunia yang pada saat itu mengalami bipolarisasi di mana kekuatan besar terpusat pada dua kubu, yaitu Blok Barat, mewakili aliansi ideologi kapitalisme dan liberalisme, dan rivalnya yaitu Blok Timur yang berhaluan sosialisme—dua polar kekuatan yang bersitegang dalam Perang Dingin. Konferensi Bandung inilah yang menjadi cikal bakal terciptanya Gerakan Non Blok (Non-Aligned Movement) pada tahun 1961 yang menjadi respon atas kekuatan biner Barat dan Timur—memberikan ruang dan wadah bagi negara-negara Global South untuk bisa mempertahankan kemerdekaan, memperjuangkan determinasi diri/kedaulatan, dan terlepas dari pengaruh negara-negara adidaya yang kerap memanfaatkan negara-negara berkembang dan belum berkembang sebagai proxy bagi kepentingan politik mereka.
Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, KAA adalah konferensi yang sekedar “lewat” dalam mata pelajaran sejarah, kita hanya diajarkan bahwa Indonesia menjadi tuan rumah untuk konferensi internasional, tidak lebih dari trivia sejarah lainnya—KAA terlucuti dari signifikansi sejarah, konteks internasional, dan latar belakang politik progresif yang memungkinkan terjadinya konferensi ini. Namun yang membuat KAA menjadi konferensi yang luar biasa adalah bagaimana negara-negara peserta yang memiliki kompas ideologi dan politik yang beragam, bisa duduk bersama untuk mengenyampingkan perbedaan dan mencapai konsensus. Dengan berbagai kompromi dan perdebatan, KAA akhirnya menghasilkan Dasasila Bandung yang berisi:
- menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat di dalam Piagam PBB,
- menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa,
- mengakui persamaan semua suku bangsa dan persamaan semua bangsa, besar maupun kecil,
- tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soalan-soalan dalam negeri negara lain,
- menghormati hak-hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri secara sendirian ataupun kolektif yang sesuai dengan Piagam PBB,
- tidak menggunakan peraturan-peraturan dari pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu negara besar dan tidak melakukannya terhadap negara lain,
- tidak melakukan tindakan-tindakan ataupun ancaman agresi maupun penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah maupun kemerdekaan politik suatu negara,
- menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrasi, ataupun cara damai lainnya, menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan Piagam PBB,
- memajukan kepentingan bersama dan kerjasama,
- menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.
Bagi negara-negara imperial dan penjajah, konferensi ini jelas merupakan ancaman. Sejarah mencatat banyak upaya-upaya yang dilakukan untuk menggagalkan keberlangsungan konferensi ini. Blok Barat memiliki kekhawatiran bahwa berlangsungnya konferensi ini dapat menggeser kekuatan menuju Blok Timur, karena figur-figur kunci pada konferensi ini lebih memiliki kedekatan dengan ideologi sosialisme yang menentang praktik imperialisme dan kolonialisme.
Konteks Perang Dingin juga menggambarkan bagaimana negara-negara imperial melalui badan intelijennya seperti CIA dan MI6 memiliki keterlibatan untuk membelokkan output konferensi ini untuk menanggalkan retorika anti-imperialisme dan mempengaruhi negara-negara partisipan yang cenderung “pro Barat” untuk menguatkan sentimen negatif terhadap Uni Soviet. Bahkan proses terjadinya KAA juga tercoreng oleh sebuah tragedi yaitu percobaan pembunuhan terhadap Zhou Enlai, diplomat dari RRT, berupa pengeboman pesawat “Kashmir Princess” yang seharusnya ia tunggangi, menyebabkan 16 korban jiwa bagi penumpang dan kru pesawat. Namun Zhou Enlai yang mengalami kondisi darurat untuk operasi usus buntu tidak jadi menaiki pesawat tersebut dan baru bertolak ke Bandung beberapa hari setelahnya. Di negara dunia pertama, KAA juga diberitakan dengan nada negatif dan penuh skeptisisme, karena KAA dinilai sebagai antitesis dari kepentingan Blok Barat di Global South.
70 tahun berlalunya KAA menjadi pengingat bahwa tugas peradaban dalam mengentaskan segala bentuk penindasan masih panjang. Di tengah dunia yang semakin terfragmentasi, KAA mengingatkan kita soal pentingnya mengenyampingkan perbedaan untuk bisa melawan praktik-praktik kolonialisme dan imperialisme, yang naasnya masih tetap ada hingga hari ini. Tentu saja besar harapan bahwa KAA sebagai milestone dari negara-negara Global South tidak sebatas dikenang saja, namun ia menjadi legacy dan titik tolak untuk perjuangan global, di mana semangat nasionalisme tidak dimaknai sebagai semangat penaklukan dan pengekangan, namun sebagai semangat yang membebaskan negara-negara berdaulat dan segenap masyarakatnya untuk bisa mencapai kemakmuran dan determinasi diri. (SN/AM)